Beranda | Artikel
Patokan Boleh Menjamak Shalat Ketika Hujan
Minggu, 30 Desember 2012

Apa patokan atau standar boleh menjamak shalat ketika hujan? Menjamak shalat artinya menggabungkan dua shalat di salah satu waktunya.

Kita sudah ketahui bersama bahwa di antara keringanan saat turun hujan adalah jama’ah masjid diperbolehkan menjamak shalat. Inilah di antara kemudahan syari’at Islam bagi umatnya. Namun sebagian orang terlihat begitu menggampang-gampangkan menjamak shalat kala itu. Padahal hujan yang turun tidak deras atau tidak membuat kesulitan untuk beraktifitas.

Dalil Dibolehkannya Menjamak Shalat Saat Hujan

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”

Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no. 705)

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jamak shalat yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bukan karena sebab ini dan sebab itu. Oleh karenanya Imam Ahmad berdalil bolehnya menjamak shalat karena beberapa sebab tersebut karena jika dalam keadaan genting atau hujan atau safar saja dibolehkan jamak, maka lebih-lebih lagi ada sebab itu. Jadi, jamak karena sebab-sebab tadi lebih pantas ada karena sebab lainnya. Walaupun dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak disebutkan jamak karena hujan, namun jika dipahami jamak karena hujan lebih-lebih dibolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 76.

Hisam bin Urwah mengatakan,

أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ

Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3: 169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Atsar semisal ini menunjukkan bahwa jamak ketika turun hujan adalah telah diamalkan sejak dulu di Madinah pada masa sahabat dan tabi’in. Dan tidak dinukil bahwa seorang sahabat dan tabi’in mengingkarinya. Dan bisa dipahami bahwa sebenarnya hal itu sudah mutawatir (dinukil dengan riwayat yang banyak).” (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 83).

Dalil-dalil lainnya sudah dikemukakan dalam tulisan sebelumnya di Rumaysho.com: Keringan Ketika Turun Hujan: Dibolehkan Menjamak Shalat

Patokan Bolehnya Menjamak Shalat Ketika Hujan

Dalam Al Mughni disebutkan, ”Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.” Lihat Al Mughni, 2: 117.

Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya menurut Ar Rafi’i dan Imam Nawawi.

Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah.  Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 206-207.

Guru kami, Syaikh Prof. Dr. Sa’ad bin Turkiy Al Khotslan ditanya, “Ketika turun hujan, kami lihat banyak perbedaan dalam memandang bolehnya menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya’ di berbagai masjid. Apa yang bisa menjadi patokan untuk menjamak dua shalat ketika turun hujan?”

Beliau hafizhohullah menjawab, “Tidaklah disyari’atkan untuk menjamak shalat Zhuhur-Ashar dan Maghrib-‘Isya’ kecuali jika ada kesulitan. Karena pernah terjadi hujan, namun tidak menjamak shalat. Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diadakan istisqo’ (minta hujan) ketika khutbah Jum’at, lantas turunlah hujan selama seminggu. Namun tidak didapati bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat selama seminggu penuh.

Tanda kesulitan yang membolehkan menjamak adalah turunnya hujan sampai membuat orang-orang sedikit beraktivitas, sedikitnya mobil yang bergerak di jalan-jalan, sampai-sampai sebagian toko menutup dagangannya dan semacam itu.”

[Sumber fatwa: http://www.saad-alkthlan.com/text-814]

Wallahu waliyyut taufiq.

@ Maktabah Al Amir Salman, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 17 Shafar 1434 H

www.rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/3070-patokan-boleh-menjamak-shalat-ketika-hujan.html